Selasa, 27 Januari 2009

Cita cita Menjadi Guru

A Hakam Naja
Wakil Ketua Komisi VIII (Bidang Kesejahteraan Rakyat)
dari Fraksi PAN DPR RI


Saya terhenyak ketika mendengar peraih medali emas dalam ajang International Junior Science Olympiad IV (IJSO) S. Haniel Yuwono (13) menginginkan, kelak dirinya akan menjadi guru. Sungguh luhur cita-cita siswa SMP itu yang dalam masa kini jarang sekali siswa yang ingin menjadi pendidik bagi anak bangsa.

Di tengah kepiluan nasib para guru, S. Haniel memberanikan diri untuk memilih profesinya kelak sebagai guru.

Dengan kesejahteraan yang amat minim, ketidakpastian pekerjaan, dan beban biaya hidup kian berat, mampukah para guru menjadi sumber inspirasi pengembangan diri bagi murid-murid? Realistiskah menuntut mereka mengajar dengan profesionalitas dan kesungguhan.


Kesejahteraan Guru
Masalah kesejahteraan guru merupakan masalah kompleks dan mendasar dalam dunia pendidikan kita. Terutama bagi guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) sekolah negeri. Bukan hanya status kepegawaian yang tak jelas, penghasilan guru pun amat rendah sehingga banyak guru honorer tak mampu menyekolahkan anak mereka.

Reaksi Pemerintah Indonesia atas tuntutan guru selalu sama. Pertama, anggaran negara selalu dinyatakan belum cukup untuk menaikkan gaji guru. Kedua, proyeksi penetapan status kepegawaian terkendala tuntutan peningkatan kompetensi guru.

Berdasarkan penilaian UNESCO, Depdiknas dianggap belum memberikan perhatian yang lebih kepada tenaga pendidik yakni guru dan dosen.

Kini meski komitmen dalam UU Guru dan Dosen telah amat jelas untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan, realitasnya masih jauh panggang dari api.

Karena itu tidak ada pilihan, pemerintah harus segera mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan aneka masalah kesejahteraan guru.

Tersedianya dana untuk kesejahteraan guru adalah keharusan. Karena itu cukup muskil bila tetap idealis dalam menginginkan pendidikan sebagai pembangun pilar nasionalisme dan kebudayaan. Persoalan nyata kini adalah perut lapar guru dan keluarganya. Masalah kesejahteraan terkait isu kemanusiaan, bukan hanya politik kebijakan pendidikan.


Kompetensi
Ada tiga kompotensi yang perlu diperhatikan, pertama, target sertifikasi yang terus diulur-ulur tanpa kejelasan pelaksanaan dijadikan alasan pemerintah menolak segera memberikan tunjangan profesi guru.

Kedua, upaya upgrading para guru ke S-1 sebagai syarat sertifikasi tidak mendorong pemerintah segera menetapkan model pendidikan, kurikulum, dan lembaga pelaksana. Alasannya, dana terbatas.

Ketiga, yang paling apes adalah guru honorer, GTT, dan PTT. Meski ada yang bergelar S-1, guru dengan status kepegawaian itu harus menunggu lama untuk dapat ikut sertifikasi dan menuntut tunjangan profesi. Alasan pemerintah, prioritas pemerintah adalah guru-guru S-1 dengan status kepegawaian penuh. Artinya, perjuangan guru honorer serta GTT-PTT masih panjang untuk bisa menikmati janji-janji UU Guru dan Dosen.

Kemudian, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan dilakukan secara simultan. Tahap-tahap status kepegawaian, upgrading kualifikasi, dan pemberian tunjangan perlu dipertahankan demi kualitas. Pelaksanaannya harus bersamaan untuk memenuhi tuntutan tahapan kualifikasi, guru honorer tidak perlu menunggu proyek sertifikasi.

Selain itu, pemerintah perlu melibatkan institusi pendidikan swasta. Sebab yang terlihat, pemerintah tampaknya tidak cukup gesit menjabarkan amanat UU Guru dan Dosen karena birokrasi. Harus dibuat kerangka kerja sama pemerintah-swasta.

Beban guru di masa depan menjadi lebih berat. Selain sebagai pengajar, mereka juga dituntut menjadi orangtua kedua bagi murid-muridnya. Guru yang ideal karena belum mampu memberi materi ajar sesuai perkembangan zaman.

Karena itu, sosok dan keinginan S. Haniel Yuwono merupakan embrio kompetensi yang dimiliki anak-anak brilian yang melahirkan guru profesional. Sehingga semua pihak dapat mendukung untuk mewujudkan cita-cita anak-anak menjadi guru seperti S. Haniel Yuwono. *****

(Sumber: Radar Pekalongan, 19 Januari 2009)

Tidak ada komentar: