Selasa, 27 Januari 2009

Penolakan UU BHP, Substansi Belum Dipahami

HakamNaja.blogspot.comPekalongan --- Munculnya penolakan terhadap Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh sebagian masyarakat, karena belum dipahaminya semangat dan substansi pasal dalam UU tersebut.

”Penolakan terhadap BHP itu akibat belum dipahaminya semangat dan substansi pasal demi pasal UU BHP,” tutur Wakil Ketua Komisi VIII Bidang Kesra, A. Hakam Naja dalam acara Sosialisasi UU BHP di Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (27/1/2009).

Menurut politisi dari Partai Amanat Nasional itu, jika mengacu pada UU BHP seharusnya biaya semakin murah, karena ada batasan pungutan kepada masyarakat yaitu paling banyak sekitar 33 persen biaya operasional.

”Masyarakat harus memahami semangat penyusunan BHP. Soal pendanaan pendidikan, justru pemerintah dituntut berperan besar. Pemahaman yang keliru ini mungkin karena masyarakat melihat praktik di perguruan tinggi badan hukum milik negara (BHMN), yang biaya kuliahnya jadi mahal. Di UU BHP ini justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga biaya operasional,” tutur Hakam.

Hakam juga membantah anggapan bahwa UU BHP akan membuat pendidikan di Indonesia menjadi semakin tidak terjangkau. Sebab UU tersebut justru diyakini bisa memberi perlindungan pada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi.

”Bahkan untuk warga tidak mampu, justru semakin terlindungi. Ada kewajiban dari BHP dan pemerintah untuk menyediakan beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit pendidikan mahasiswa, dan pemberian pekerjaan kepada mahasiswa,” tegas Hakam.

Selain itu, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru. (hnbs)

Cita cita Menjadi Guru

A Hakam Naja
Wakil Ketua Komisi VIII (Bidang Kesejahteraan Rakyat)
dari Fraksi PAN DPR RI


Saya terhenyak ketika mendengar peraih medali emas dalam ajang International Junior Science Olympiad IV (IJSO) S. Haniel Yuwono (13) menginginkan, kelak dirinya akan menjadi guru. Sungguh luhur cita-cita siswa SMP itu yang dalam masa kini jarang sekali siswa yang ingin menjadi pendidik bagi anak bangsa.

Di tengah kepiluan nasib para guru, S. Haniel memberanikan diri untuk memilih profesinya kelak sebagai guru.

Dengan kesejahteraan yang amat minim, ketidakpastian pekerjaan, dan beban biaya hidup kian berat, mampukah para guru menjadi sumber inspirasi pengembangan diri bagi murid-murid? Realistiskah menuntut mereka mengajar dengan profesionalitas dan kesungguhan.


Kesejahteraan Guru
Masalah kesejahteraan guru merupakan masalah kompleks dan mendasar dalam dunia pendidikan kita. Terutama bagi guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) sekolah negeri. Bukan hanya status kepegawaian yang tak jelas, penghasilan guru pun amat rendah sehingga banyak guru honorer tak mampu menyekolahkan anak mereka.

Reaksi Pemerintah Indonesia atas tuntutan guru selalu sama. Pertama, anggaran negara selalu dinyatakan belum cukup untuk menaikkan gaji guru. Kedua, proyeksi penetapan status kepegawaian terkendala tuntutan peningkatan kompetensi guru.

Berdasarkan penilaian UNESCO, Depdiknas dianggap belum memberikan perhatian yang lebih kepada tenaga pendidik yakni guru dan dosen.

Kini meski komitmen dalam UU Guru dan Dosen telah amat jelas untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan, realitasnya masih jauh panggang dari api.

Karena itu tidak ada pilihan, pemerintah harus segera mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan aneka masalah kesejahteraan guru.

Tersedianya dana untuk kesejahteraan guru adalah keharusan. Karena itu cukup muskil bila tetap idealis dalam menginginkan pendidikan sebagai pembangun pilar nasionalisme dan kebudayaan. Persoalan nyata kini adalah perut lapar guru dan keluarganya. Masalah kesejahteraan terkait isu kemanusiaan, bukan hanya politik kebijakan pendidikan.


Kompetensi
Ada tiga kompotensi yang perlu diperhatikan, pertama, target sertifikasi yang terus diulur-ulur tanpa kejelasan pelaksanaan dijadikan alasan pemerintah menolak segera memberikan tunjangan profesi guru.

Kedua, upaya upgrading para guru ke S-1 sebagai syarat sertifikasi tidak mendorong pemerintah segera menetapkan model pendidikan, kurikulum, dan lembaga pelaksana. Alasannya, dana terbatas.

Ketiga, yang paling apes adalah guru honorer, GTT, dan PTT. Meski ada yang bergelar S-1, guru dengan status kepegawaian itu harus menunggu lama untuk dapat ikut sertifikasi dan menuntut tunjangan profesi. Alasan pemerintah, prioritas pemerintah adalah guru-guru S-1 dengan status kepegawaian penuh. Artinya, perjuangan guru honorer serta GTT-PTT masih panjang untuk bisa menikmati janji-janji UU Guru dan Dosen.

Kemudian, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan dilakukan secara simultan. Tahap-tahap status kepegawaian, upgrading kualifikasi, dan pemberian tunjangan perlu dipertahankan demi kualitas. Pelaksanaannya harus bersamaan untuk memenuhi tuntutan tahapan kualifikasi, guru honorer tidak perlu menunggu proyek sertifikasi.

Selain itu, pemerintah perlu melibatkan institusi pendidikan swasta. Sebab yang terlihat, pemerintah tampaknya tidak cukup gesit menjabarkan amanat UU Guru dan Dosen karena birokrasi. Harus dibuat kerangka kerja sama pemerintah-swasta.

Beban guru di masa depan menjadi lebih berat. Selain sebagai pengajar, mereka juga dituntut menjadi orangtua kedua bagi murid-muridnya. Guru yang ideal karena belum mampu memberi materi ajar sesuai perkembangan zaman.

Karena itu, sosok dan keinginan S. Haniel Yuwono merupakan embrio kompetensi yang dimiliki anak-anak brilian yang melahirkan guru profesional. Sehingga semua pihak dapat mendukung untuk mewujudkan cita-cita anak-anak menjadi guru seperti S. Haniel Yuwono. *****

(Sumber: Radar Pekalongan, 19 Januari 2009)

Kamis, 22 Januari 2009

Dugaan Suap di MUI, Komisi Agama Duga Ada Permainan Broker

"Si broker telah menaikkan biaya sertifikasi berkali lipat dari biaya seharusnya."

VIVAnews, Jum'at, 23 Januari 2009, 10:29 WIB
Arry Anggadha, Anggi Kusumadewi

VIVAnews - Transparansi Internasional Indonesia merilis, Majelis Ulama Indonesia termasuk sebagai lembaga yang juga sering disuap. Survei ini membuat Komisi Agama Dewan Perwakilan Rakyat terkejut.

"Komisi selama ini berinteraksi dengan LPPOM dan MUI, dan dari hasil interaksi tersebut kita tidak menemukan indikasi korupsi tersebut," kata Wakil Ketua Komisi Agama, Abdul Hakam Naja, saat berbincang kepada VIVAnews, Jumat 23 Januari 2009.

Pada 21 Januari, TII merilis sebanyak 10 persen responden menilai suap ini terjadi saat pengurusan sertifikat halal. TII menilai perilaku suap ini justru datang dari pejabat publik itu.

Menurut Abdul Hakam, TII juga harus membuka hasil survei tersebut. Komisi Agama, lanjut dia, membutuhkan informasi dari TII mengenai dugaan suap tersebut, karena selama ini kabar burung mengenai dugaan korupsi di tubuh MUI belum pernah ada.

"Bahkan berdasarkan paparan MUI, sertifikasi mereka tergolong sangat murah, hanya Rp 5 juta, dan itu memang digunakan untuk biaya operasional. Jika sertifikasi dilakukan oleh lembaga lain, mungkin harganya lebih mahal," ujarnya.

Abdul Hakam pun menduga adanya kehadiran broker yang memperdagangkan sertifikasi halal MUI tersebut. Menurut Abdul Hakam, masyarakat menjadi terjebak saat mengurus sertifikasi melalui broker tersebut. "Sementara si broker telah menaikkan biaya sertifikasi berkali lipat dari biaya seharusnya," jelasnya.

Politisi PAN Abdul Hakam Naja: "Lia Eden Harus Koordinasi dengan Polisi"

VIVAnews, Senin, 15 Desember 2008, 12:25 WIB
Arfi Bambani Amri, Anggi Kusumadewi

VIVAnews - Abdul Hakam Naja, Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah agama, menyatakan perbuatan Lia Eden dan kawan-kawan biasa saja asal tidak mengganggu ketertiban umum. Agar tidak sampai mengganggu, politis Partai Amanat Nasional itu menyarankan Lia Eden berkoordinasi dengan polisi.

"Saya pikir, harus ada semacam kesepakatan antara Lia dan aparat untuk berkoordinasi (mengenai) koridor atau batasan mana yang bisa dilakukan atau tidak oleh Lia," kata Abdul Hakam Naja di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 15 Desember 2008.

"Memang ini masalah keyakinan. Sebenarnya apa yang dilakukan Lia Eden adalah biasa, selama itu menyangkut pribadi, tapi kalau sudah disebarluaskan dan mengganggu lingkungan, itu sama saja dengan mengganggu ketertiban umum sehingga masuk ke wilayah hukum," ujar Hakam Naja menjelaskan.

Memang masalah keyakinan, kata Hakam, tidak bisa dipaksakan. Ada orang yang beragama ada ada yang tidak beragama. Sesama beragama pun tidak boleh saling menjelekkan apalagi menistakan.

"Lia dianggap menistakan agama sehingga berpotensi memunculkan konflik horizontal. Jadi penahanan Lia sebenarnya bertujuan untuk mengamankan dirinya dan juga untuk menghindari konflik," kata Hakam.

Senin pagi, pukul 05.30 WIB, polisi mengamankan Lia Eden bersama 23 pengikutnya ke markas Polda Metro Jaya. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Asfinawati, terdapat sepuluh anak-anak di antara pengikut yang diamankan polisi.

Kaum Eden dipimpin Lia Aminuddin atau dikenal Lia Eden. Ibunya bernama Zainab, dan bapaknya bernama Abdul Ghaffar Gustaman, seorang pedagang dan pengkhutbah Islam aliran Muhammadiyah. Pada umur 19 tahun, Lia menikah dengan Aminuddin Day, seorang dosen di Universitas Indonesia dan dikaruniai empat orang anak.

Selain menganggap dirinya sebagai menyebarkan wahyu Tuhan dengan perantaraan Jibril, dia juga merasa memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit. Dia juga mengarang lagu, syair dan juga buku sebanyak 232 halaman berjudul, "Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Takdir" yang ditulis dalam waktu 29 hari.

RUU Susduk, Klausul Impeachment Perlu Dimasukkan

VIVAnews, Senin, 20 Oktober 2008, 14:44 WIB
YW Nugroho, Anggi Kusumadewi

VIVAnews – Sejumlah fraksi di DPR meminta agar klausul impeachment (pemakzulan) dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Fraksi yang meminta tersebut adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan dan Sejahtera, Fraksi Partai Damai Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Bintang Reformasi.

Sedangkan Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi dalam rapat kerja Pansus RUU Susduk, Senin, 20 Oktober 2008 bersama pemerintah tidak memberikan komentar terkait dengan impeachment.

Rapat Kerja Pansus yang dipimpin Ketuanya Ganjar Pranowo tersebut, Wila Chandrawila dari FPDIP mengatakan, implikasi impeachment bagi takhta pemerintahan sangat besar. “Meski UUD sudah mengatur tetapi itu adalah aturan yang sangat singkat meski UUD diamandemen empat kali,” kata Wila Chandra. Karena itu katanya, impeachment harus diatur lebih rinci dalam RUU Susduk.

Menurut Hakam Naja dari FPAN, impeachment harus dirinci dalam RUU Susduk agar tidak terjadi kekosongan hukum. Hal senada dikemukakan FPBR yang berharap ada antisipasi terjadinya polemik-polemik dalam hal impeachment. Menurut FPKS, UU dan Tata Tertib yang ada saat ini tidak memadai.

Wakil pemerintah dalam RUU ini, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto mengakui soal ini adalah masalah besar. “Pada prinsipnya pemerintah berpendapat pemakzulan perlu diatur, namun tidak harus dalam RUU Susduk, tetapi bisa dimuat dalam Tata Tertib,” katanya.

Menurut Masduki Baidlowi dari FKB, tidak ada hidden agenda dalam pencantuman klausul impeachment dalam RUU Susduk. “Ini adalah pelajaran dari pengalaman sejarah ketika dulu Gus Dur dijatuhkan, sejarah bangsa ini tidak boleh barbar secara politik, jadi pemakzulan merupakan persoalan bersama,” katanya.

Pansus dan pemerintah pada akhirnya sepakat klausul ini dibawa ke Panitia Kerja (Panja). Menurut Mardiyanto, pemerintah memahami hal ini adalah soal yang krusial.

Lobi RUU Pemilihan Presiden, Mardiyanto & Mattalatta Wakili Pemerintah

VIVAnews, Rabu, 15 Oktober 2008, 20:38 WIB
Arfi Bambani Amri, Suryanta Bakti Susila, Anggi Kusumadewi

VIVAnews - Rapat konsultasi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas rancangan Undang-undang Pemilihan Presiden kembali berlangsung. Rabu malam ini, pemerintah diwakili Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta dan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa.

Lobi yang diharapkan terakhir ini kembali berlangsung di Hotel Santika, Jalan KS Tubun, Jakarta. Sejak pukul 07.00 Waktu Indonesia Barat, Rabu, 15 Oktober 2008, menteri-menteri dan pimpinan-pimpinan fraksi sudah melaksanakan makan malam.

Fraksi terbesar, Partai Golkar, diwakili oleh Ferry Mursyidan Baldan, Priyo Budi Santoso dan Hardi Soesilo. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan diwakili Irwadi Lubis, Sutradara Ginting, dan Yasonna H Laoly.

Fraksi Partai Demokrat diwakili Agus Hermanto dan Ignatius Mulyono. Dari fraksi Kebangkitan Bangsa muncul Effendi Choirie. Dari Fraksi Partai Amanat Nasional terlihat Hakam Naja, Arbab Paproeka, Andi Yuliani Paris, dan ketua fraksinya, zulkifli Hasan.

Dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera muncul Untung Wahono, Agus Purnomo dan Mustafa Kamal. Fraksi Partai Bintang Reformasi diwakili Zaenal Abidin, Partai Damai Sejahtera diwakili Pastor Hasibuan dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan diwakili Lukman Hakim Syaifuddin.

Sementara ini, terdapat dua isu utama yang menjadi pengganjal pengesahan RUU ini. Pertama, soal jumlah suara DPR untuk mencalonkan presiden dan kedua, soal aturan rangkap jabatan bagi presiden dan wakil presiden.